Abu-abu itu tidak hitam, tidak juga putih. Kalau dikaitkan dengan sifat manusia, abu-abu digambarkan sebagai sikap mengambang. Bisa jadi mencitrakan sebuah sikap yang fleksibel atau malah jadi sebuah ketidaktegasan dalam bersikap.
Kalau saja kita bisa membagi dunia yang kita diami ini dalam 2 warna dasar: hitam dan putih. Warna hitam mungkin bisa direpresentasikan sebagai sisi gelap manusia. Warna putih sebaliknya, warna yang mencerminkan sesuatu yang terang, bersih …
Tapi dalam teori warna sendiri, hitam dan putih sebenarnya tidak digolongkan sebagai warna, tapi value. Tentu saja value ini sendiri tidak hanya terbagi dalam satu hitam dan satu putih saja. Tapi terdiri dari sekian banyak gradasi dari hitam ke putih tau sebaliknya putih ke hitam. Inilah yang disebut abu-abu.
Dikaitkan kembali ke realita sosial, masih adakah hitam yang benar-benar hitam dan putih yang benar-benar putih? Ataukah kedua titik puncak value ini sudah tidak ada sehingga di dunia ini hanya ada abu-abu? Semakin abu-abu ini dekat dengan hitam, semakin banyaklah “isi” hitam dalam abu-abu tersebut. Begitu sebaliknya. Namun dalam tulisan ini, saya sebenarnya lebih ingin mengupas tentang gradasi abu-abu yang paling dekat dengan hitam.
Proses sosialisasi dalam hidup sebenarnya adalah proses mewarnai dan terwarnakan. Pengaruh dari lingkungan mulai dari keluarga sampai masyarakat bisa mewarnai kita. Dengan kata lain memberi identitas. Kebalikannya, rasanya diperlukan usaha yang lebih ketika kita ingin memberi warna pada lingkungan, memberikan identitas kita agar mewarnai lingkungan sekitar. Dalam banyak kasus, kita juga sering mendapati kondisi dimana orang justru terwarnakan karena pengaruh lingkungan di sekitar kehidupannya.
Nah, ini soal orang yang terwarnakan sehingga berada pada warna abu-abu gradasi menuju hitam. Saya mengamati tingkah orang-orang seperti ini. Setelah mengamat-amati, saya menyusun hipotesa kecil (tapi, anda jangan percaya 100 % hipotesa saya ini sebelum menganalisanya sendiri, :-) ). Berikut kesimpulan saya tentang orang dengan sikap abu-abu (dalam gradasi menuju hitam, tentunya…) :
1. Bisa sangat fleksibel. Orang-orang dengan sikap seperti ini biasanya tidak pernah secara tegas memiliki sikap dan pemikiran sendiri. Ia bersikap dari mencontoh sikap orang lain. Pemikirannya pun dipenuhi oleh pemikiran orang lain yang belum tentu teruji benar. Ia mendasari cara bersikap dan pola berpikirnya pada apa yang dipandang bisa menguntungkan secara pribadi.
2. Jarang memiliki sikap tanggung jawab penuh terhadap tanggung jawab yang diembankan padanya. Tapi, jika ternyata tanggung jawab tersebut menghasilkan sebuah output yang baik, orang-orang seperti ini akan berada pada garis terdepan untuk membusungkan dada. Sebaliknya bila gagal, ia lebih senang melempar kesalahan pada orang-orang di sekeliling lingkaran tanggung jawabnya.
3. Takut untuk berkonflik dan mempertahankan buah pemikirannya sendiri walau ia tau itu benar. Ia lebih memilih ikut pada kondisi yang bisa menguntungkannya secara pribadi.
4. Lebih ber-visi materi oriented. Golongan ini lebih mengutamakan negosiasi keuntungan materi bagi diri sendiri daripada harus mempertahankan prinsip kebenaran dan keyakinan dalam sikap hidup.
5. Golongan abu-abu lebih egois. Walau bisa sangat fleksibel dengan situasi dan kondisi, orang-orang seperti ini lebih egois saat sudah berhadapan dengan visi hidupnya. Mereka biasanya tidak pernah punya teman/ sahabat sejati untuk berbagi dalam suka dan duka. Hubungan pertemanan lebih didasarkan pada faktor kepentingan.
http://noesaja.wordpress.com/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar